Minggu, 07 Juni 2009

PERLUNYA SUATU INTERVENSI DALAM PENGEMBANGAN ORGANISASI

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Intervensi dimaksudkan untuk menetapkan cara-cara apakah yang patut dipergunakan untuk merencanakan perbaikan berdasarkan masalah yang ditemukan dalam proses diagnosa dan pemberian umpan balik.
Intervensi berarti keikutsertaan klien dan konsultan bersama-sama merencanakan proses perbaikan berdasarkan atas masalah yang di jumpai dalam proses diagnosa.
Tahap perencanaan intervensi harus diikuti dengan serangkaian konsep yang saling berhubungan satu sama lain. Yaitu antara lain terdiri dari teori, model dan kerangka konsep referensinya.

Intervensi merupakan suatu kegiatan perbaikan yang terencana dalam proses pembinaan organisasi. Argyris merumuskan agak lebih terinci :
“intervensi merupakan kegiatan yang mencoba masuk kedalam suatu sistem tata hubungan yang sedang berjalan, hadir berada diantara orang-orang, kelompok ataupun suatu objek dengan tujuan untuk membantu mereka”.
Ada suatu pemikiran yang implisit dari pengertian Argyris itu yang harus dibuat eksplisit. Pemikiran itu ialah bahwa sistem yang akan diintervensi itu tidak tergantung sama sekali pada pengintervensi. 

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan daripada penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan yang lebih dalam tentang perlunya suatu intervensi dalam perbaikan organisasi. Dan juga, tujuan daripada penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi persyaratan akademis, yakni untuk memenuhi tugas dari mata kuliah “Pengembangan Organisasi”.

II. Pembahasan

A. Kriteria Suatu Intervensi Yang Efektif

Kriteria dari suatu intervensi yang efektif antara lain adanya informasi yang benar dan bermanfaat, kebebasan memilih, dan keterikatan di dalam. 

1.) Dengan informasi yang benar dan bermanfaat dimaksudkan segala bahan keterangan tentang masalah organisasi yang diperoleh ketika proses diagnosa. Bahan keterangan tersebut bukan karangan dari konsultan atau klien melainkan benar-benar terjadi dan berlaku secara nyata dalam kegiatan organisasi. Selain itu bahan keterangan tersebut berkaitan dengan persoalan yang sedang dipecahkan, sehingga bahan keterangan tersebut bermanfaat bagi perbaikan organisasi. Oleh karena itu tugas pertama bagi konsultan ialah mencari informasi yang benar dan bermanfaat tersebut. Kalau tugas ini tidak berhasil dilaksanakan, artinya konsultan tidak memperoleh data yang benar dan relevan kiranya sulit bisa dilakukan intervensi yang tepat.

2.) Dengan kebebasan memilih dimaksudkan bahwa tempat pembuatan suatu keputusan itu terletak pada posisi klien. Klien sama sekali bebas memilih alternatif dalam pembuatan keputusan. Ia tidak tergantung kepada konsultan. Tidak ada suatu tindakan atau alternatif tindakan yang datang secara otomatis, tersusun rapi tinggal dipakai, atau dipaksa untuk dipakai. Dengan demikian kebebasan memilih ini ditekankan bahwa tidak ada paksaan pada klien untuk memilih dan membuat keputusan.

3.) Dengan keterikatan kedalam dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa klien mempunyai tanggung jawab untuk tetap terikat pada pelaksanaan dari rencana atau keputusan yang telah dibuat. 

Klien yang telah dengan bebas membuat keputusan untuk perbaikan organisasi dengan cara tertentu, maka dalam hal ini dia bertanggung jawab untuk mau melaksanakannya. Keterikatan ini sangat penting artinya, karena inti usaha pembinaan organisasi terletak pada keterikatan orang-orang yang terlibat sejak awal sampai usaha pembinaan organisasi itu selesai.

Dengan tiga kriteria diatas kita dapat menangkap bahwa proses intervensi itu memang sangat tergantung pada proses diagnosa. Dengan kata lain proses pengumpulan data akan banyak mewarnai kegiatan intervensi yang akan dijalankan. Proses intervensi bukanlah berdiri sendiri. Dengan demikian perencanaan intervensi yang tidak berdasarkan proses pengumpulan data atau diagnosa, maka intervensi seperti itu kurang logis.

B. Perencanaan Intervensi

Paling sedikit ada tiga dasar pertimbangan di dalam merencanakan kegiatan intervensi:
1.) Kesiapan klien untuk melakukan perubahan
Bisa dilihat ketika mengumpulkan data. Waktu wawancara, ataupun ketika mengisi daftar pertanyaan dalam kuesioner kita bisa menangkap gejala kesiapan ini. Dari jawaban-jawaban klien kita mengetahui masalah-masalah yang perlu mendapat perhatian. Klien menyadari adanya masalah dan bagaimana motivasinya untuk memecahkan masalah tersebut. Selain itu kesiapan dapat pula diamati dari kesadaran klien akan adanya perbedaan dan kesenjangan antara kedudukan organisasi pada saat sekarang dengan yang diinginkan di waktu yang akan datang.

Melihat dan memahami kesiapan seperti diatas belum seluruhnya mengetahui sampai seberapa jauh kesiapan tersebut bisa diukur.

Untuk memastikan seberapa jauh kepastian klien untuk melakukan perubahan, dapat diamati lebih lanjut ketika benar-benar telah dilaksanakan perubahan. Disaat pelaksanaan intervensi, kita bisa memahami siapa-siapa yang membantu dan menghalangi, siapa pula yang setuju dan yang melawan, dan siapa pula yang siap melakukan perubahan dan siapa pula yang enggan melakukannya. Pada tahap ini kita sekaligus mengetahui tingkat perlawanan yang timbul dari anggota klien.

2.) Kepastian bahwa perubahan tersebut masih dalam batasan kekuasaan dan kewenangan organisasi
Dalam kaitan ini suatu perubahan tidak bakal terjadi kalau tidak dihubungkan atau dikaitkan dengan kekuasaan yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi tersebut. Dengan demikian jika hendak dilakukan perubahan, keputusan melakukan perubahan tersebut harus datang dari kekuasaan yang ada dalam organisasi. Kalau sistem dalam organisasi klien itu mengikuti sistem hirarki, maka keputusan dari pimpinan tertinggi tentang perubahan itu sangat menentukan. Selain itu, keterlibatan orang-orang yang mempunyai kekuasaan dalam organisasi terhadap proses intervensi sangat pula menentukan keberhasilan intervensi. Pengertian mempunyai kekuasaan ini tidak hanya terbatas pada kekuasaan hirarkikal saja, akan tetapi juga termasuk lokasi timbulnya pusat persoalan.

3.) Kesiapan sumber-sumber internal untuk membantu memanage, memonitor dan memelihara proses perubahan.
Sumber-sumber internal itu dapat berupa perangkat lunak maupun perangkat keras. Sumber-sumber dana dan fasilitas-fasilitas lain yang dibutuhkan oleh pelaksanaan perubahan perlu disiapkan terlebih dahulu. Demikian pula orang-orang yang akan membantu dan melaksanakan perubahan harus disiapkan.

Apalagi jika dalam konsultasi organisasi konsultannya berasal dari luar, maka orang-orang yang termasuk konsultan dari dalam organisasi harus disiapkan untuk membantu dan melaksanakan perubahan organisasi. Orang-orang didalam organisasi klien dapat bertindak sebagai konsultan internal, dan tugasnya memberikan saran-saran kepada pimpinan organisasi dan membantu konsultan eksternal untuk melakukan proses diagnosa dan intervensi. Dengan demikian proses perbaikan dan perubahan organisasi tidak semata-mata tergantung pada konsultan dari luar organisasi.

Melaksanakan proses perubahan memang tidak mudah, mengajak ke perbaikan itu memang sulit. Yang mudah membiarkan semuanya itu kacau balau dan salah. Oleh karena itu dalam proses perubahan organisasi, sumber-sumber internal seperti konsultan internal dapat dimanfaatkan sebagai monitor dan pemelihara proses perubahan tersebut. Konsultan internal dapat dimanfaatkan untuk membantu proses perubahan sejak langkah pertama usaha-usaha pembinaan organisasi. Kemudian dilanjutkan dengan keterlibatannya dalan proses diagnosa dan bertindak sebagai sub intervensi. Dalam proses intervensi konsultan internal dapat bertindak sebagai subintervensor atau pembantu konsultan eksternal dalam program-program seperti tim building, latihan jabatan, analisa data, dan lain sebagainya. Menurut Hornstein, Bunker, Burke, Gindes, dan Lewicki (1971) konsultan internal penjaga kultur baru dan mereka membantu memperlancar proses pembinaan organisasi.

Dalam praktek pembinaan organisasi pada tahap perencanaan intervensi ini tugas konsultan antara lain menguji kesiapan klien, meyakinkan bahwa perubahan itu tetap bersumber pada kekuasaan organisasi, dan membantu mengatur sumber-sumber internal untuk mendukung dan memelihara perubahan.

Dan fungsi konsultan yang amat menentukan ialah memberikan sebanyak mungkin alternatif intervensi. Dalam hal ini konsultan bisa mengajukan anternatifnya sendiri, dapat pula memberikan saran dan pendapatnya sehubungan dengan alternatif intervensi yang diajukan oleh klien.

Keputusan mengambil alternatif intervensi tergantung pada pucuk pimpinan organisasi klien. Dengan demikian keputusan tentang bentuk intervensi itu bukanlah diambil oleh konsultan. Konsultan hanya mengajukan alternatif intervensi saja. Kalau seandainya harus mengambil keputusan, maka konsultan bersama klien yang melakukannya.

C. Pola Umum Intervensi

Intervensi yang dilakukan dalam pembinaan organisasi menurut sejarahnya telah banyak dikembangkan beberapa pola teknik intervensi. Pola intervensi yang sering dilakukan oleh para praktika pembinaan organisasi cenderung memberikan teknik-teknik yang sama atau hampir sama dalam mengatasi masalah-masalah organisasi. Kesamaan ini lalu memberikan gambaran yang bersifat umum. Gambaran umum tersebut kemudian melahirkan suatu pola teknik intervensi yang bersifat umum. Sehingga pola umum dari intervensi dapat dikatakan bisa dirumuskan bentuknya. Berikut ini pola umum intervensi yang dirumuskan oleh Argyris.
1.) Pola yang telah dibuktikan kebenarannya.
Pola ini mendasarkan atas suatu anggapan bahwa persoalan-persoalan umum yang selalu timbul dalam suatu organisasi antara lain : masalah komunikasi, tidak adanya perhatian dalam komunikasi, kurang mau mendengar secara aktif, perencanaan yang kurang realitas, kurang adanya kepercayaan antar karyawan dan pimpinan, kurang adanya keterikatan internal terhadap policy dan tujuan organisasi, dll.

Untuk mengatasi masalah umum organisasi ini sudah tersedia pengetahuan dan teknik intervensi yang sudah dicoba dan dibuktikan kebenarannya. Teknik intervensi yang sudah dibuktikan kebenarannya ini antara lain teknik survey umpan balik, pertemuan tatap muka, tim bilding, pemecahan konflik antar kelompok dan berbagai model latihan jabatan.

2.) Intervensi kreatif atas dasar ilmu pengetahuan yang ada.
Pola ini dimaksudkan menciptakan suatu model intervensi berdasarkan atas ilmu pengetahuan yang ada. Dengan demikian konsultan berusaha menciptakan model intervensi yang kreatif dalam mengembangkan suatu ilmu pengetahuan yang ada dan yang dikuasainya. Umpamanya, konsultan mau menerapkan model tim bilding berdasarkan dari sisi ilmu pengetahuan lain. Maka konsultan mengembangkan model-model tim bilding dari sisi ilmu tersebut. Dari pengembangan model dari ilmu pengetahuan lainnya ini, maka akan diperoleh model intervensi yang lain dari sebelumnya. Dengan sendirinya suatu kesulitan yang mungkin timbul adalah usaha untuk menciptakan model baru ini. Setiap praktika konsultan akan diciptakan model baru yang berbeda dari model sebelumnya, kreativitas memang sulit akan tetapi menarik bagi yang menyenanginya.

3.) Penambahan atas teori dasar yang ada.
Dalam pola ketiga ini bentuk intervensinya memberikan tambahan kepada teori dasar yang sudah ada. Dengan kata lain konsultan menciptakan teori dan metodologi baru yang menambah, mengembangkan, dan memperbaiki teori dasar yang ada. Pola ini sebenarnya jarang dan sulit dilakukan oleh konsultan. Sebenarnya pola intervensi ini demanding, karena konsultan selain mengamalkan praktika konsultasi diapun melakukan riset di bidangnya.

Sehingga mampu menemukan model-model baru. Suatu contoh yang sangat baik tentang pola ketiga ini ialah usaha-usaha yang dilakukan oleh Kurt Lewin yang terkenal sampai sekarang dengan sebutan action research.

Selain pola yang bersifat umum ini, konsultan perlu juga mengamalkan pola intervensi yang lebih mendalam. Pola intervensi yang mendalam ini memberikan penekanan kepada sampai seberapa jauh keterlibatan unsur-unsur seperti: nilai, emosi, dan perasaan individu dalam intervensi tersebut. Dengan demikian intervensi mendalam ini menekankan pada jenis intervensi yang memperbaiki unsur manusianya. Selain itu menurut Harrison (1970), intervensi mendalam itu dapat dilihat sampai dimana data yang ada mempunyai dampak terhadap urusan yang bersifat pribadi dan umum. Dan kalau dilihat dari segi individualitas, sampai dimana intervensinya itu lebih mengenai dan mengarahkan masing-masing individu dalam organisasi (karyawan dan pejabat) dibandingkan kepada organisasinya. Semakin dalam intervensinya, maka semakin jauh dampaknya terhadap kepentingan pribadi dan hal-hal yang bertalian dengan individu dalam organisasi.

Berdasarkan anggapan dan model yang dikemukakan oleh Harrison tersebut, Huse (1980) mengembangkan serangkaian daftar tentang bentuk intervensi berdasarkan kedalamannya. Daftar ini sangat membantu menjelaskan dan memberikan gambaran tentang bagaimana menggunakan konsep Harrison di atas. Huse menggolongkan intervensi itu atas yang paling dangkal kedalamannya sampai yang terdalam.

Menurut Huse intervensi yang tergolong dangkal ialah yang menyangkut pendekatan sistem organisasi, sedangkan yang termasuk terdalam ialah intervensi yang menyangkut hal-hal pribadi perorangan.

Dua hal yang termasuk berada di antara dangkal dan terdalam ialah hubungan antara individu-organisasi, dan yang bertalian degan gaya kerja perorangan. Akan tetapi khusus bagi gaya kerja perorangan diletakkan lebih dalam daripada hubungan individu-organisasi.

Harrison memberikan model yang lain dengan menawarkan suatu kriteria tertentu. Modelnya masih bersambungan dengan pemikiran Huse diatas. Dengan memberikan pertanyaan bagaimana sikap konsultan dalam menentukan pilihan intervensi, Harrison memberikan kriterianya.
Pada dasar manakah seharusnya seorang konsultan itu membantu klien menentukan pilihan intervensinya ? yakni :
1.) Bahwa konsultan harus melakukan intervensi pada tingkat yang tidak lebih dalam daripada keharusan menghasilkan suatu pemecahan persoalan yang telah ada.
2.) Bahwa energi dan sumber-sumber yang dipunyai klien dapat dimanfaatkan untuk pemecahan persoalan dan perbaikan.

Selain itu Harrison juga menekankan dalam rangka intervensi adakalanya konsultan lebih menyukai mendorong dan mengahadapi secara langsung setiap perlawanan klien. Dan ada pula yang lebih menyenangi menangani hal-hal aktual dari klien. Dalam hal timbulnya bentuk perlawanan klien, maka menurut Harrison, tampaknya dia lebih suka memilih yang teralhir itu. Karena menurutnya, konsultan yang menyukai menghadapi perlawanan klien itu telah mengambil langkah memilih bentuk intervensi yang tersulit. Sekali intervensi tersulit telah diambilnya, maka dia harus konsekuen menerima akibatnya yakni ada kemungkinan klien menolaknya atau membatalkan sama sekali rencana intervensinya.

Intervensi yang bertalian dengan hal-hal aktual dari klien lebih bersifat menyenangkan karena tidak berhadapan dengan perlawanan klien terhadap usaha-usaha perbaikan yang bakal dilakukan.

III. Penutup

Sekali lagi saya menyadari keterbatasan dalam ruang dan waktu sehingga tentu saya tidak mungkin dapat membahas tentang intervensi dalam pengembangan organisasi secara lebih menyeluruh. Meskipun demikian, saya harapkan ada manfaatnya terutama dalam upaya untuk secara lebih sungguh-sungguh, konseptual, sistematis, dan terarah memperkuat studi administrasi negara dengan kajian mengenai intervensi untuk pengembangan organisasi.


Dikutip dari http://one.indoskripsi.com/node/8002

1 komentar:

Mari,, Berikan Komentar Anda !!!